Senin, 11 Agustus 2014

 01.51         No comments
angan putihnya yang tanpa noda itu kembali menyapu kaca jendela kamarnya. Mencoba untuk menghapus sisa embun setelah hujan semalaman yang kini menghalangi pandangannya keluar kamar.
Setelah dapat dilihatnya pemandangan rumput dan bunga-bungaan yang masih basah dari jendelanya, serta jalan setapak kecil di depan rumahnya, gadis itu tersenyum manis. Sekarang tinggal menunggu. Gumamnya dalam hati.

Tiba-tiba gadis cantik dengan lesung pipi itu merasa kakinya dielus-elus benda berbulu.
“Oh, Pussy… kau mau menemaniku menunggu?” dia menggendong kucing gemuk berbulu putih panjang yang menggosok-gosokkan badan ke kakinya itu.
Gadis itu terus menatap keluar jendela sambil sesekali melirik jam dinding. Pussy, kucingnya hanya mendengkur lembut dalam pelukannya.
“Sebentar lagi,” ujarnya pada diri sendiri. “Sebentar lagi.”
Tiba-tiba mata gadis itu membulat dan pipinya memerah, tatapannya terpaku ke jalan setapak di depan rumahnya, tepatnya ke seorang laki-laki bertubuh tegap yang mengenakan seragam SMA yang sedang lewat di jalan itu.


Rangga berjalan dengan langkah lebar melewati jalan setapak kecil menuju halte bus. Jalan setapak itu masih sedikit becek akibat hujan semalam. Kembali diliriknya jam tangan hitam yang melingkari tangan kirinya. Dia harus bergegas jika tidak ingin terlambat sampai di sekolah.
Tapi saat dilihatnya sebuah rumah bercat putih dengan rumput serta bunga-bungaan di halamannya tak urung juga dilambatkannya langkah.
Dengan ekor mata, diliriknya jendela kaca rumah bercat putih itu saat melewatinya.
Benar dugaannya, gadis itu sedang memperhatikannya.
Rangga tidak mengenal gadis yang tinggal di rumah itu, yang diketahuinya hanyalah sebuah keluarga menyewa rumah itu sejak sebulan lalu.
Dan sejak sebulan lalu juga, setiap Rangga lewat di jalan rumah itu —saat berangkat dan pulang sekolah, gadis itu selalu disana, di jendela kamarnya sambil memperhatikannya lewat.
Rangga berusaha keras untuk tidak menoleh, karena pernah suatu kali dia menoleh dan membalas tatapan gadis itu, tapi yang terjadi malah gadis itu langsung menutup gorden jendelanya.
Rangga masih berusaha untuk menahan dirinya menoleh, karena —entah mengapa— dia tidak ingin melihat gadis itu menutup gorden jendelanya.


Rangga hanya berdiri diam memperhatikan teman-temannya bermain basket. Hari ini tidak seperti biasanya dia sama sekali tidak berhasrat memegang bola basket.
Pikirannya kini sedang dipenuhi oleh gadis di jendela yang selalu dilihatnya setiap berangkat dan sepulang sekolah itu. Gadis yang selalu memperhatikannya itu berhasil membuatnya penasaran.
“Rangga tangkep!” teriak Johan yang melempar bola basket ke arah Rangga.
Rangga terkesiap dari lamunannya saat mendengar teriakan Johan, tapi Rangga yang tidak siap menerima operan bola itu refleks hanya bisa menangkis bola hingga keluar pagar sekolah.
“Gue bilang kan tangkep, bukan tangkis.” Gerutu Johan sambil melompat keluar pagar untuk mengambil bola basket yang ditangkis Rangga tadi.
Rangga hanya memperhatikan Johan sambil tersenyum, sebuah ide terlintas di kepalanya.


Dari ujung jalan dapat dilihatnya gadis itu sedang melamun di jendela, angin sepoi-sepoi meniup ujung rambutnya yang panjang.
Jantung Rangga kontan berdetak keras. Berkali-kali dia menarik napas untuk menenangkan dirinya. Sementara, sebelah tangannya masih asyik mendrible bola basket.
Ketika melewati rumah bercat putih, bola basket Rangga —dengan gerakan yang disengaja tentunya— terlempar ke halamannya, tepat di bawah jendela kamar gadis itu.
Rangga tersenyum kecil, dengan wajah innocent dia memasuki halaman rumah itu.
“Permisi…” ujar Rangga, entah kepada siapa. Karena rumah itu tampak sepi, hanya ada gadis itu —yang sekarang sedang terburu-buru menutup jendela kamarnya begitu melihat Rangga mendekat.
Rangga menghela napas kecewa, dia sudah tahu gadis itu pasti akan langsung menutup jendelanya begitu melihat Rangga datang. Tapi, Rangga tidak menyerah.
“Maaf, bolaku terlempar ke sini…” kata Rangga, dia tahu gadis itu masih di sana.
Tak ada jawaban.
“Jadi, aku mengambilnya ke sini,”
Tak ada jawaban.
“Emm, namaku Rangga… siapa namamu?”
Tak ada jawaban.
“Aku hanya ingin berkenalan denganmu,”
Masih tak ada jawaban.
Akhirnya Rangga menyerah, diambilnya bola basket yang sedari tadi hanya dipelototinya itu. “Oke kalo gitu, aku pergi ya…”
Tiba-tiba Gadis itu membuka gorden jendelanya.
“Yu… Yuna, namaku Yuna,” gadis itu tersenyum ragu-ragu pada Rangga.

Cerpen Karangan: Bela F. Azmi
Facebook: Bela Fataya Azmi

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Kirim Cerita