Selasa, 01 Juli 2014

 23.14         No comments
Hari itu, cuaca sangat tidak bersahabat. Sebenarnya memang tak pernah bersahabat dengan tubuh yang sangat lemah dan rentan terhadap berbagai penyakit seperti aku ini. Kenapa aku terlahir begini? Aku selalu berkata demikian di depan cermin besar di dalam ruang kamarku sambil tertawa lalu kemudian menangis. Bila ada yang melihatku sedang melakukan hal itu mungkin mereka akan menganggapku seperti orang gila, bahkan tanpa kata “seperti”.

Aku benci hidup ini. Aku benci dengan apa yang aku miliki. Aku benci ibu yang telah melahirkanku ke dunia lalu langsung menutup mata untuk selamanya tanpa pernah melihat kehadiranku sama sekali. Aku benci ayah yang tak pernah punya waktu untuk sedikit saja memperhatikanku. Aku benci semuanya. Bahkan aku benci Tuhan dan takdir-Nya.
Sudah hampir sebulan aku dan ayah menempati rumah ini. Kami baru saja pindah rumah. Ayah bilang, agar jaraknya dekat dengan kantor tempatnya bekerja, makanya kita pindah ke sini. Apa hubungannya denganku? seharusnya ayah pindah rumah saja sendiri! Bukankah ayah tak pernah mempedulikan aku? Ayah egois! Semalam om Jhon, teman kantor ayah datang berkunjung ke rumah. Tetapi setelah om Jhon bertemu dan menanyakan tentang aku kepada ayah, ayah hanya menjawab “kakak perempuanku baru saja menitipkan anaknya tadi pagi.” Apa maksud ayah berkata seperti itu? Apakah ayah malu untuk mengakui bahwa anaknya itu aneh, jelek, seperti monster, apa ayah malu? Jangankan ayah, aku saja tak pernah merasa bahwa aku memiliki tubuh seperti ini.
Aku duduk berhadapan dengan cermin. Aku memegang sisir berwarna pink kesukaanku dengan keempat jari-jariku yang kurus. Aku memang aneh. Aku hanya memiliki delapan jari tangan sejak lahir. Bahkan kedua kakiku bengkok. Untuk berjalan saja aku harus memakai alat bantu terlebih dahulu. Aku benci hidupku!
Sudah sebulan aku berada di tempat ini tapi aku belum pernah keluar untuk mengenal lingkungan baruku. Setiap pagi aku hanya mendengar ocehan anak kecil yang berlari-larian lewat depan rumahku. Aku belum tertarik untuk melihat dunia luar. Kepercayaan diriku belum terkumpul dengan utuh. Aku belum siap menjadi pusat perhatian orang sekitar. Mereka pasti akan terkejut melihat keadaanku yang seperti ini. Aku tidak sama dengan anak-anak lain. Aku terlahir tanpa jari kelingking dan tanpa kaki yang normal. Bahkan aku saja tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi manusia normal.
Minggu pagi, seharusnya orang dewasa yang sudah bekerja memiliki hari untuk bersantai di rumah. Tapi tidak dengan ayah. Aku tak tau kemana ayah pergi. Aku hanya bertemu dengannya jika hari sudah malam. Pagi ini sudah kuputuskan untuk melihat dunia di luar sana. Dengan berjingkat-jingkat aku bersusah payah berjalan menuju pintu rumah. Perlahan aku membukanya. Senang sekali rasanya menikmati udara pagi yang masih sejuk seperti ini. Sudah lama kumerindukannya. Mentari menyapaku, ia mengucapkan “hai”. Burung-burung pun saling berlomba-lomba mendekatiku, mereka ingin berkenalan dengan aku yang tak pernah mereka lihat sama sekali. Aku kembali masuk ke dalam dunia khayalku. Dunia dimana aku selalu merasa menjadi anak kecil yang tak mengenal kesedihan. Dunia yang tak pernah mengenalkan aku bagaimana caranya berjuang untuk hidup. Di dunia itu aku bisa berjalan, bahkan berlari sesuka hatiku tanpa repot memasang alat bantu pada kakiku ataupun merasa sakit. Tapi sayang itu hanya khayalan.
Aku maju beberapa langkah meninggalkan teras rumahku. Keadaan jalan sepi. Mana gerangan anak-anak kecil yang selalu tertawa dan bercanda dengan riangnya di depan rumahku? Apakah Tuhan tidak mengizinkan aku untuk melihat mereka pagi ini? Aku ingin seperti mereka, bebas melakukan apa yang aku inginkan. Aku bisa berlari sesuka hatiku, menari-nari, aku bisa menggenggam tangan-tangan mereka. Kapan aku bisa merasakan hal itu? Sudah lima belas menit berlalu, sepertinya Tuhan memang tidak mengizinkanku untuk merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak normal seperti mereka. Aku membalikan badan dan berjalan kembali menuju pintu rumah. Langkahku gontai beriringan dengan air mata yang tiba-tiba saja menetes tanpa kehendak.
“hei, teman-teman lihat itu!”
“nampaknya kita akan memiliki teman baru.”
“hei, kamu yang berbaju merah disana.”
Aku menghentikan langkahku. Sepertinya mereka memanggilku. Karena tak ada anak kecil lain yang berbaju merah disini selain aku. Aku membalikkan badanku. Namun aku masih menundukkan kepalaku. Aku belum siap mendengarkan komentar mereka tentang tubuhku yang cacat ini. Apa mereka akan berkata bahwa aku ini monster? Anak perempuan yang memanggilku tadi berjalan menghampiriku. Aku semakin menunduk. Aku takut menghadapi semua ini. Bahkan aku lebih takut menghadapi ini daripada menghadapi suntikan-suntikan dokter saat dulu aku check up di rumah sakit.
“wah, rambutmu indah sekali ya. Warnanya cokelat, sama seperti warna rambut boneka barbieku.” Anak itu menyentuh rambutku. Aku terkejut dengan apa yang ia katakan.
“hei, leo lihat kakinya!” dua orang anak laki-laki itu mulai mendekatiku dan memperhatikan kakiku. Aku belum siap dengan komentar mereka tentang kakiku. Ku akui akulah pemilik kaki terburuk di dunia ini. Dan kalian akan berkata apa?
“kau memiliki kaki yang keren! Mirip seperti robot blue milikku. Bagaimana kau bisa memilikinya? Sungguh aku ingin memiliki kaki seperti itu sejak aku mencintai robotku. Darimana kau mendapatkannya?” aku sangat terkejut dengan apa yang ia katakan barusan. Kenapa mereka bisa berkata seperti itu? Mengapa mereka memuji keterbatasanku? Apa yang ada di pikiran anak-anak kecil polos seperti kalian? Apakah aku bisa dibilang lebih hebat dari kalian dengan segala keterbatasan ini?
“kenalkan, namaku David. Umurku 8 tahun. Kelihatannya kau seumuran dengan kami.”
“aku juga, kenalkan namaku Alita. Maukah kau bermain boneka barbie bersamaku?”
“tidak! Lebih baik bermain robot saja denganku. Namaku Leo.”
Mereka semua mengulurkan tangan, ingin berkenalan denganku. Aku membalas jabatan tangan mereka satu persatu walaupun aku masih kurang percaya diri untuk memperlihatkan jari-jemari kurusku yang jumlahnya tak sama dengan mereka. Tapi mereka tak berkata apa-apa lagi. Mereka menampakkan senyum khas kekanak-kanakan mereka. Aku mengangkat kepalaku. Aku membalas senyum mereka.
“namaku Neta.”
“namamu indah. Boleh aku pinjam namamu untuk memberi nama pada boneka barbieku yang baru?” Aku tersenyum sambil mengangguk.
“sekarang anggota kita bertambah satu. Ayo, Neta! Ikut bermain bajak laut bersama kami!” David mengajakku bermain bersama. Aku senang, tapi aku ragu. Apakah aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan dengan segala keterbatasanku?
“David, Leo, Alita, aku tak bisa melakukan gerakan sebebas kalian. Aku tak bisa berlari, aku tak bisa menari-nari, aku juga tak memiliki jari-jari yang lengkap seperti kalian. Apakah kalian akan tetap mengajakku bermain?” pertanyaanku mungkin agak sedikit membingungkan. Mereka terdiam. Entah berpikir atau apa. Mungkin setelah ini aku akan segera menuju ke dalam rumah den mengunci rapat-rapat pintu rumah. Aku tau, mereka tak bisa menjawab pertanyaanku. Dan yang harus kulakukan adalah kembali ke rumah.
“tentu. Kau bisa menjadi kapten kapal. Yang kau lakukan hanya mengawasi awak kapalnya saja. Mudah, kan? Aku dan David akan menjadi awak kapal, sedangkan Alita menjadi tuan putri yang harus diculik. Ayo kita ke markas!!” mereka semua menuntunku berjalan menuju tempat dimana mereka biasa melakukan permainan ini. Aku sungguh merasa sangat senang. Sejak hari ini, aku selalu mengisi hari-hariku dengan bermain bersama mereka.
8 tahun telah berlalu. Kami sudah menjadi remaja dengan segala kesibukan masing-masing. Alita sibuk dengan les baletnya. David sibuk dengan olahraga kegemarannya, yaitu basket. Sedangkan Leo, sibuk dengan berbagai rangkaian robot buatannya. Ia memang selalu tertarik dengan robot sejak kecil. Bahkan ia masih mengagumi ‘kaki robot’ku. Leo memang aneh. Dan aku, sibuk mengisi hari-hari sepiku saat mereka semua sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Walaupun begitu, sesibuk apapun, mereka selalu meluangkan waktu mereka untukku.
Siang itu kami sudah membuat janji untuk bertemu di paru-paru kota, tempat kami selalu bermain bajak laut 8 tahun yang lalu. Aku sudah menunggu mereka kurang lebih setengah jam. Tapi belum ada satupun dari mereka yang menampakkan batang hidungnya. Mungkin mereka masih sibuk. Aku harus bisa mengerti keadaan sekarang. Aku tak boleh egois. Mereka memiliki banyak teman lain selain aku di luar sana. Mereka juga harus membagi waktu mereka dengan teman lain. Bukan untukku saja.
Lelaki bertubuh kekar itu berlari tergesa-gesa. Nafasnya penuh sesak, tapi tampaknya ia tak perduli. Jaraknya semakin mendekat. David, tubuh mungil 8 tahun lalu sudah berganti menjadi tubuh kekar penuh otot. David yang dulu selalu mengajakku bermain bajak laut disini, di tempat aku berada. Nafasnya memburu, tak beraturan. Ia berhenti dan mengatur nafasnya.
“apa hukuman yang layak aku dapatkan, setelah membiarkanmu menunggu lama sendirian disini?” aku tertawa mendengar kata-katanya barusan. Untuk apa aku memberi hukuman padanya? Ia saja tak pernah menghukum segala keterbatasanku.
“kenapa tertawa?” David tak mengerti. Aku menepuk-nepuk bangku yang kududuki. Mengisyaratkan agar ia duduk disini, di sampingku. Ia tersenyum dan segera menempatkan posisi.
“aku rindu tempat ini.” Aku memulai pembicaraan
“apa itu artinya aku harus mengajakmu kembali bermain bajak laut untuk menebus kesalahanku tadi?” David membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Ia semakin tak mengerti. Dasar bodoh! Mana mungkin kita akan bermain bajak laut lagi seperti apa yang dulu sering kita lakukan. Kita sudah remaja. Dan aku yakin, kau pasti mempunyai rasa malu untuk melakukan hal itu. Tak lama kemudian, Alita dan Leo datang.
“aku harap kau tak mengutuk kami menjadi kodok setelah kami terlambat beberapa menit.”
Leo memecah keheningan siang ini. Ia memang selalu membuat kami tertawa di setiap kata-katanya. Kami seperti tersihir untuk tertawa oleh semua leluconnya.
“bagaimana dengan kegiatan kalian? Menyenangkan, bukan?” aku menghentikan tawa mereka. Mereka tersenyum.
“semua yang kami lakukan memang menyenangkan. Tapi akan lebih menyenangkan lagi apabila kita sedang bersama seperti sekarang ini.” Alita merangkul bahuku.
“iya, betul! Semua kegiatan yang aku lakukan tak pernah semenyenangkan seperti saat kita bersama seperti sekarang ini.” David menyetujui. Aku hanya tersenyum. Aku yakin, mereka hanya membohongi diri mereka sendiri. Aku tau sebenarnya mereka sangat menikmati segala kesibukan mereka. Aku merasa, akulah batu penghalang mereka. Seharusnya mereka bersenang-senang saja dengan teman-teman yang pasti lebih menyenangkan dari aku, tentu tidak dengan segala keterbatasan seperti yang kumiliki. Sekarang aku tau kenapa ayah selalu berkata kalau aku ini bukan anaknya, karena ia merasa akulah penghalang segala kesibukannya. Dan sekarang aku baru menyadarinya ketika teman-temanku juga memiliki kesibukan lain selain bermain denganku. Aku memang egois. Aku selalu menginginkan mereka ada bersamaku tanpa kembali berpikir bahwa mereka punya kesibukan lain. Seharusnya mereka menghukum aku yang egois ini. Seperti ditampar dengan segala kenyataan yang ada, senyumku berubah menjadi tetes air mata. Debu-debu keputus asaan kembali menghampiri batin ini. Aku harus kembali menerima kenyataan bahwa aku tak bisa bermain bersama mereka lagi. Aku harus mengalah.
“apakah kalian tidak malu memiliki teman cacat sepertiku ini?”
“siapa yang berani berkata kalau kau cacat, Neta? Kau tidak cacat! Buktinya, aku selalu suka kepada kaki robotmu sejak kecil.” Leo mencak-mencak.
“kau terlihat buruk dengan air mata yang mengalir di pipimu!” Alita mengusap pipiku.
“di dunia ini tak ada yang cacat, Neta. Yang cacat itu apabila kami meninggalkanmu sendiri menikmati kesendirian. Kau itu sahabat kami. Kami tak akan membiarkanmu sendirian, kami tak akan membiarkanmu terluka atau mengalami hal buruk apapun. Tidak akan!”
Dengan serempak, Alita, Leo, dan David memelukku erat. Aku sangat bahagia memiliki sahabat seperti kalian. Yang mau mengerti dan menutupi segala keterbatasan yang aku miliki. Aku sangat menyayangi kalian. Sebenarnya Tuhan tidak jahat, hanya saja aku yang selalu berputus asa dengan apa yang telah ditakdirkan-Nya. Terimakasih tuhan, Engkau telah memberikanku orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku. Mereka memang bukan Albert Einstein, yang dengan hebatannya menciptakan berbagai macam hukum Science. Tapi menurutku, mereka lebih hebat daripada Einstein. Mereka bisa menciptakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang amat berarti dalam hidupku. Aku adalah orang paling beruntung di dunia ini karena telah memiliki sahabat terhebat seperti kalian.

Cerpen Karangan: Annisa Rahmadiah
Facebook: Annisamahdaleni[-at-]yahoo.co.id

nnisa Rahmadiah
XII IPA 1
MAN 11 JAKARTA
facebook: Annisa Rahmadiah (Annisamahdaleni[-at-]yahoo.co.id)
twitter: @Rahmadiah_Icha

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Categories

Diberdayakan oleh Blogger.

Kirim Cerita