Hari itu, cuaca sangat tidak bersahabat. Sebenarnya memang tak pernah
bersahabat dengan tubuh yang sangat lemah dan rentan terhadap berbagai
penyakit seperti aku ini. Kenapa aku terlahir begini? Aku selalu berkata
demikian di depan cermin besar di dalam ruang kamarku sambil tertawa
lalu kemudian menangis. Bila ada yang melihatku sedang melakukan hal itu
mungkin mereka akan menganggapku seperti orang gila, bahkan tanpa kata
“seperti”.
Aku benci hidup ini. Aku benci dengan apa yang aku miliki. Aku benci
ibu yang telah melahirkanku ke dunia lalu langsung menutup mata untuk
selamanya tanpa pernah melihat kehadiranku sama sekali. Aku benci ayah
yang tak pernah punya waktu untuk sedikit saja memperhatikanku. Aku
benci semuanya. Bahkan aku benci Tuhan dan takdir-Nya.
Sudah hampir sebulan aku dan ayah menempati rumah ini. Kami baru saja
pindah rumah. Ayah bilang, agar jaraknya dekat dengan kantor tempatnya
bekerja, makanya kita pindah ke sini. Apa hubungannya denganku?
seharusnya ayah pindah rumah saja sendiri! Bukankah ayah tak pernah
mempedulikan aku? Ayah egois! Semalam om Jhon, teman kantor ayah datang
berkunjung ke rumah. Tetapi setelah om Jhon bertemu dan menanyakan
tentang aku kepada ayah, ayah hanya menjawab “kakak perempuanku baru
saja menitipkan anaknya tadi pagi.” Apa maksud ayah berkata seperti itu?
Apakah ayah malu untuk mengakui bahwa anaknya itu aneh, jelek, seperti
monster, apa ayah malu? Jangankan ayah, aku saja tak pernah merasa bahwa
aku memiliki tubuh seperti ini.
Aku duduk berhadapan dengan cermin. Aku memegang sisir berwarna pink
kesukaanku dengan keempat jari-jariku yang kurus. Aku memang aneh. Aku
hanya memiliki delapan jari tangan sejak lahir. Bahkan kedua kakiku
bengkok. Untuk berjalan saja aku harus memakai alat bantu terlebih
dahulu. Aku benci hidupku!
Sudah sebulan aku berada di tempat ini tapi aku belum pernah keluar
untuk mengenal lingkungan baruku. Setiap pagi aku hanya mendengar ocehan
anak kecil yang berlari-larian lewat depan rumahku. Aku belum tertarik
untuk melihat dunia luar. Kepercayaan diriku belum terkumpul dengan
utuh. Aku belum siap menjadi pusat perhatian orang sekitar. Mereka pasti
akan terkejut melihat keadaanku yang seperti ini. Aku tidak sama dengan
anak-anak lain. Aku terlahir tanpa jari kelingking dan tanpa kaki yang
normal. Bahkan aku saja tak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi
manusia normal.
Minggu pagi, seharusnya orang dewasa yang sudah bekerja memiliki hari
untuk bersantai di rumah. Tapi tidak dengan ayah. Aku tak tau kemana
ayah pergi. Aku hanya bertemu dengannya jika hari sudah malam. Pagi ini
sudah kuputuskan untuk melihat dunia di luar sana. Dengan
berjingkat-jingkat aku bersusah payah berjalan menuju pintu rumah.
Perlahan aku membukanya. Senang sekali rasanya menikmati udara pagi yang
masih sejuk seperti ini. Sudah lama kumerindukannya. Mentari menyapaku,
ia mengucapkan “hai”. Burung-burung pun saling berlomba-lomba
mendekatiku, mereka ingin berkenalan dengan aku yang tak pernah mereka
lihat sama sekali. Aku kembali masuk ke dalam dunia khayalku. Dunia
dimana aku selalu merasa menjadi anak kecil yang tak mengenal kesedihan.
Dunia yang tak pernah mengenalkan aku bagaimana caranya berjuang untuk
hidup. Di dunia itu aku bisa berjalan, bahkan berlari sesuka hatiku
tanpa repot memasang alat bantu pada kakiku ataupun merasa sakit. Tapi
sayang itu hanya khayalan.
Aku maju beberapa langkah meninggalkan teras rumahku. Keadaan jalan
sepi. Mana gerangan anak-anak kecil yang selalu tertawa dan bercanda
dengan riangnya di depan rumahku? Apakah Tuhan tidak mengizinkan aku
untuk melihat mereka pagi ini? Aku ingin seperti mereka, bebas melakukan
apa yang aku inginkan. Aku bisa berlari sesuka hatiku, menari-nari, aku
bisa menggenggam tangan-tangan mereka. Kapan aku bisa merasakan hal
itu? Sudah lima belas menit berlalu, sepertinya Tuhan memang tidak
mengizinkanku untuk merasakan apa yang dirasakan oleh anak-anak normal
seperti mereka. Aku membalikan badan dan berjalan kembali menuju pintu
rumah. Langkahku gontai beriringan dengan air mata yang tiba-tiba saja
menetes tanpa kehendak.
“hei, teman-teman lihat itu!”
“nampaknya kita akan memiliki teman baru.”
“hei, kamu yang berbaju merah disana.”
Aku menghentikan langkahku. Sepertinya mereka memanggilku. Karena tak
ada anak kecil lain yang berbaju merah disini selain aku. Aku
membalikkan badanku. Namun aku masih menundukkan kepalaku. Aku belum
siap mendengarkan komentar mereka tentang tubuhku yang cacat ini. Apa
mereka akan berkata bahwa aku ini monster? Anak perempuan yang
memanggilku tadi berjalan menghampiriku. Aku semakin menunduk. Aku takut
menghadapi semua ini. Bahkan aku lebih takut menghadapi ini daripada
menghadapi suntikan-suntikan dokter saat dulu aku check up di rumah
sakit.
“wah, rambutmu indah sekali ya. Warnanya cokelat, sama seperti warna
rambut boneka barbieku.” Anak itu menyentuh rambutku. Aku terkejut
dengan apa yang ia katakan.
“hei, leo lihat kakinya!” dua orang anak laki-laki itu mulai mendekatiku
dan memperhatikan kakiku. Aku belum siap dengan komentar mereka tentang
kakiku. Ku akui akulah pemilik kaki terburuk di dunia ini. Dan kalian
akan berkata apa?
“kau memiliki kaki yang keren! Mirip seperti robot blue milikku.
Bagaimana kau bisa memilikinya? Sungguh aku ingin memiliki kaki seperti
itu sejak aku mencintai robotku. Darimana kau mendapatkannya?” aku
sangat terkejut dengan apa yang ia katakan barusan. Kenapa mereka bisa
berkata seperti itu? Mengapa mereka memuji keterbatasanku? Apa yang ada
di pikiran anak-anak kecil polos seperti kalian? Apakah aku bisa
dibilang lebih hebat dari kalian dengan segala keterbatasan ini?
“kenalkan, namaku David. Umurku 8 tahun. Kelihatannya kau seumuran dengan kami.”
“aku juga, kenalkan namaku Alita. Maukah kau bermain boneka barbie bersamaku?”
“tidak! Lebih baik bermain robot saja denganku. Namaku Leo.”
Mereka semua mengulurkan tangan, ingin berkenalan denganku. Aku membalas
jabatan tangan mereka satu persatu walaupun aku masih kurang percaya
diri untuk memperlihatkan jari-jemari kurusku yang jumlahnya tak sama
dengan mereka. Tapi mereka tak berkata apa-apa lagi. Mereka menampakkan
senyum khas kekanak-kanakan mereka. Aku mengangkat kepalaku. Aku
membalas senyum mereka.
“namaku Neta.”
“namamu indah. Boleh aku pinjam namamu untuk memberi nama pada boneka barbieku yang baru?” Aku tersenyum sambil mengangguk.
“sekarang anggota kita bertambah satu. Ayo, Neta! Ikut bermain bajak
laut bersama kami!” David mengajakku bermain bersama. Aku senang, tapi
aku ragu. Apakah aku bisa melakukan apa yang mereka lakukan dengan
segala keterbatasanku?
“David, Leo, Alita, aku tak bisa melakukan gerakan sebebas kalian. Aku
tak bisa berlari, aku tak bisa menari-nari, aku juga tak memiliki
jari-jari yang lengkap seperti kalian. Apakah kalian akan tetap
mengajakku bermain?” pertanyaanku mungkin agak sedikit membingungkan.
Mereka terdiam. Entah berpikir atau apa. Mungkin setelah ini aku akan
segera menuju ke dalam rumah den mengunci rapat-rapat pintu rumah. Aku
tau, mereka tak bisa menjawab pertanyaanku. Dan yang harus kulakukan
adalah kembali ke rumah.
“tentu. Kau bisa menjadi kapten kapal. Yang kau lakukan hanya mengawasi
awak kapalnya saja. Mudah, kan? Aku dan David akan menjadi awak kapal,
sedangkan Alita menjadi tuan putri yang harus diculik. Ayo kita ke
markas!!” mereka semua menuntunku berjalan menuju tempat dimana mereka
biasa melakukan permainan ini. Aku sungguh merasa sangat senang. Sejak
hari ini, aku selalu mengisi hari-hariku dengan bermain bersama mereka.
8 tahun telah berlalu. Kami sudah menjadi remaja dengan segala
kesibukan masing-masing. Alita sibuk dengan les baletnya. David sibuk
dengan olahraga kegemarannya, yaitu basket. Sedangkan Leo, sibuk dengan
berbagai rangkaian robot buatannya. Ia memang selalu tertarik dengan
robot sejak kecil. Bahkan ia masih mengagumi ‘kaki robot’ku. Leo memang
aneh. Dan aku, sibuk mengisi hari-hari sepiku saat mereka semua sedang
sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Walaupun begitu, sesibuk
apapun, mereka selalu meluangkan waktu mereka untukku.
Siang itu kami sudah membuat janji untuk bertemu di paru-paru kota,
tempat kami selalu bermain bajak laut 8 tahun yang lalu. Aku sudah
menunggu mereka kurang lebih setengah jam. Tapi belum ada satupun dari
mereka yang menampakkan batang hidungnya. Mungkin mereka masih sibuk.
Aku harus bisa mengerti keadaan sekarang. Aku tak boleh egois. Mereka
memiliki banyak teman lain selain aku di luar sana. Mereka juga harus
membagi waktu mereka dengan teman lain. Bukan untukku saja.
Lelaki bertubuh kekar itu berlari tergesa-gesa. Nafasnya penuh sesak,
tapi tampaknya ia tak perduli. Jaraknya semakin mendekat. David, tubuh
mungil 8 tahun lalu sudah berganti menjadi tubuh kekar penuh otot. David
yang dulu selalu mengajakku bermain bajak laut disini, di tempat aku
berada. Nafasnya memburu, tak beraturan. Ia berhenti dan mengatur
nafasnya.
“apa hukuman yang layak aku dapatkan, setelah membiarkanmu menunggu lama
sendirian disini?” aku tertawa mendengar kata-katanya barusan. Untuk
apa aku memberi hukuman padanya? Ia saja tak pernah menghukum segala
keterbatasanku.
“kenapa tertawa?” David tak mengerti. Aku menepuk-nepuk bangku yang
kududuki. Mengisyaratkan agar ia duduk disini, di sampingku. Ia
tersenyum dan segera menempatkan posisi.
“aku rindu tempat ini.” Aku memulai pembicaraan
“apa itu artinya aku harus mengajakmu kembali bermain bajak laut untuk
menebus kesalahanku tadi?” David membuatku tertawa terpingkal-pingkal.
Ia semakin tak mengerti. Dasar bodoh! Mana mungkin kita akan bermain
bajak laut lagi seperti apa yang dulu sering kita lakukan. Kita sudah
remaja. Dan aku yakin, kau pasti mempunyai rasa malu untuk melakukan hal
itu. Tak lama kemudian, Alita dan Leo datang.
“aku harap kau tak mengutuk kami menjadi kodok setelah kami terlambat beberapa menit.”
Leo memecah keheningan siang ini. Ia memang selalu membuat kami tertawa
di setiap kata-katanya. Kami seperti tersihir untuk tertawa oleh semua
leluconnya.
“bagaimana dengan kegiatan kalian? Menyenangkan, bukan?” aku menghentikan tawa mereka. Mereka tersenyum.
“semua yang kami lakukan memang menyenangkan. Tapi akan lebih
menyenangkan lagi apabila kita sedang bersama seperti sekarang ini.”
Alita merangkul bahuku.
“iya, betul! Semua kegiatan yang aku lakukan tak pernah semenyenangkan
seperti saat kita bersama seperti sekarang ini.” David menyetujui. Aku
hanya tersenyum. Aku yakin, mereka hanya membohongi diri mereka sendiri.
Aku tau sebenarnya mereka sangat menikmati segala kesibukan mereka. Aku
merasa, akulah batu penghalang mereka. Seharusnya mereka
bersenang-senang saja dengan teman-teman yang pasti lebih menyenangkan
dari aku, tentu tidak dengan segala keterbatasan seperti yang kumiliki.
Sekarang aku tau kenapa ayah selalu berkata kalau aku ini bukan anaknya,
karena ia merasa akulah penghalang segala kesibukannya. Dan sekarang
aku baru menyadarinya ketika teman-temanku juga memiliki kesibukan lain
selain bermain denganku. Aku memang egois. Aku selalu menginginkan
mereka ada bersamaku tanpa kembali berpikir bahwa mereka punya kesibukan
lain. Seharusnya mereka menghukum aku yang egois ini. Seperti ditampar
dengan segala kenyataan yang ada, senyumku berubah menjadi tetes air
mata. Debu-debu keputus asaan kembali menghampiri batin ini. Aku harus
kembali menerima kenyataan bahwa aku tak bisa bermain bersama mereka
lagi. Aku harus mengalah.
“apakah kalian tidak malu memiliki teman cacat sepertiku ini?”
“siapa yang berani berkata kalau kau cacat, Neta? Kau tidak cacat!
Buktinya, aku selalu suka kepada kaki robotmu sejak kecil.” Leo
mencak-mencak.
“kau terlihat buruk dengan air mata yang mengalir di pipimu!” Alita mengusap pipiku.
“di dunia ini tak ada yang cacat, Neta. Yang cacat itu apabila kami
meninggalkanmu sendiri menikmati kesendirian. Kau itu sahabat kami. Kami
tak akan membiarkanmu sendirian, kami tak akan membiarkanmu terluka
atau mengalami hal buruk apapun. Tidak akan!”
Dengan serempak, Alita, Leo, dan David memelukku erat. Aku sangat
bahagia memiliki sahabat seperti kalian. Yang mau mengerti dan menutupi
segala keterbatasan yang aku miliki. Aku sangat menyayangi kalian.
Sebenarnya Tuhan tidak jahat, hanya saja aku yang selalu berputus asa
dengan apa yang telah ditakdirkan-Nya. Terimakasih tuhan, Engkau telah
memberikanku orang-orang yang sangat berarti dalam hidupku. Mereka
memang bukan Albert Einstein, yang dengan hebatannya menciptakan
berbagai macam hukum Science. Tapi menurutku, mereka lebih hebat
daripada Einstein. Mereka bisa menciptakan kebahagiaan-kebahagiaan kecil
yang amat berarti dalam hidupku. Aku adalah orang paling beruntung di
dunia ini karena telah memiliki sahabat terhebat seperti kalian.
Cerpen Karangan: Annisa Rahmadiah
Facebook: Annisamahdaleni[-at-]yahoo.co.id
nnisa Rahmadiah
XII IPA 1
MAN 11 JAKARTA
facebook: Annisa Rahmadiah (Annisamahdaleni[-at-]yahoo.co.id)
twitter: @Rahmadiah_Icha
Selasa, 01 Juli 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar